Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tubuh keorganisasian PMII. Mengapa? Karena Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan tauhid, ini disebutkan dalam NDP (Nila Dasar pergerakan) yang ada dalam tubuh PMII.
Karena kenyataan inilah membahas tentang aswaja menjadi urgen, karena akan menghantarkan kita semua terutama para kader untuk mererfleksi dan menjadikannya dasar sekaligus pedoman dalam melakukan pergerakan, sehingga nantinya apa yang akan dilakukan selalu sejalan dengan apa yang menjadi semangat dari organisasi tercinta ini.
Secara etimologi Ahlussunnah Wal Jama’ah (aswaja)merupakan gabungan kata yang terdiri dari Ahlun (اهل) yang berarti keluarga, pengikut/golongan, sunnah (سنّة) yang berarti jalan, dan juga bisa berarti hadits. Dan al-jama’ah(الجماعة) yang berarti Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Demikian secara kebahasaan Ahlussunnah/aswaja berarti orang–orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.
KH. Sirajuddin Abbas mendefinisikan ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai kaum yang menganut I’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau (I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah : 2).
Drs. KH. Syamsudin Anwar, Mendefinisikan Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah penganut ajaran, paham (doktrin) yang menganut pada sunnah Nabi dan I’tiqad para sahabat Nabi (Ahlussunnah Wal Jama’ah Konteksnya dengan sumber daya manusia dan Lingkungan Hidup : 2)
Kemudian pengertian ini mengalami perubahan ketika Ahlussunnah diartikan menurut presfektif Nahhdhatul ‘Ulama (NU). Dalam Qanun Asasi yang dirumuskan Hadhrastus Syaikh KH. Hasyim ‘Asy’ari tertulis bahwa Aswaja merupakan sebuah paham keagamaan di mana dalam bidang aqidah menganut pendapat Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi, dalam bidang fiqih menganut salah satu dari keempat madzhab (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
Tercatat ada 3 hadits, dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani. Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Ma ana ‘Alaihi wa Ashabi," jawab Rasul.
Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunah wa al-jama’ah. Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata Aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Sebenarnya bukan hanya itu yang melatarbelakangi lahirnya Aswaja. Karena dicatat bahwa Aswaja lahir sebagai respon dari gejolak politik yang terjdi pada masa khulafaur Rasyidin. Yakni dimulai sejak perang shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Ali dalam tahkim dikarenakan pengkelabuan yang dilakukan dari pihak Muawiyyah.
Kemudian umat islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pendukung Ali, Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan keputusan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyyah. Selain ketiga golongan tersebut masih ada Murji’ah dan Qadariyyah.
Di antara kelompok-kelompk tersebut ada sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan bin Hasan Yasar al-Bashri lebih dikenal Imam Hasan al-Bashri (21-110 H/639-728 M) yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat cultural, ilmiah, dan berusaha mencari kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian antara berbagai fraksi politik (firqah) yang berkembang pada masa itu. Sebaliknya mereka mengembangkan system keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan system keberagamaan seperti ini mereka tidak mudah mengkafirkan golongan yang terlibat pertikaian politik ketika itu.
Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum Aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini,kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma,di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah yang dipandang oleh Asy’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan lahirnya Ahlussunah wa al-jama’ah merupakan rsepon dari prtselisiahn politik pada masa itu, dimana ia lahir dengan mengenalkan kedamaian, keseimbangan, dan inilah sebenarnya ciri utama dari Ahlussunah wa al-jama’ah.
REFLEKSI ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL FIKRI
Sejak waktu berdirinya NU, hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja lebih didorongkan sebagai Madzab. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat digunakan dengan cara lain ?
Aswaja sebagi madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama yang dimaksud. Pengertian ini dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk mengadapinya. Selain itu pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab? Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai Manhaj Al-Fikri atau metode berpikir.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Al-Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam membuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan Aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Prf. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA) dalam sebuah forum di Jakarta padatahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumus ini diratifikasi menjadi konsep dasar Aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth(moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang).
Aktualisasi dari prinsip yang Pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapatkita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri.
Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
Dengan adanya transisi Aswaja dari madzhab menjadi Manhaj Al-Fikri sebenarnya memberikan udara segar bagi kita mengapa? Karena dengan demikian nantinya kita akan dapat menghasilkan pandangan-pandangan yang tentu relevan dengan keadaan yang sedang kita alami pada masa sekarang, bukan hanya itu hal ini membuka pintu kretivitas umat. Tapi perlu kita sadari dengan adanya transisi ini, kita dituntut untuk lebih giat, termotivasi dalam usaha kita tafaquh fi al-din, agar nantinya apa yang kita hasilkan benar-benar membawa kemashlahatan bagi umat.
Oleh Ali Masykur (Ketua Umum PMII Rayon Syariah Walisongo Semarang)
Karena kenyataan inilah membahas tentang aswaja menjadi urgen, karena akan menghantarkan kita semua terutama para kader untuk mererfleksi dan menjadikannya dasar sekaligus pedoman dalam melakukan pergerakan, sehingga nantinya apa yang akan dilakukan selalu sejalan dengan apa yang menjadi semangat dari organisasi tercinta ini.
Secara etimologi Ahlussunnah Wal Jama’ah (aswaja)merupakan gabungan kata yang terdiri dari Ahlun (اهل) yang berarti keluarga, pengikut/golongan, sunnah (سنّة) yang berarti jalan, dan juga bisa berarti hadits. Dan al-jama’ah(الجماعة) yang berarti Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Demikian secara kebahasaan Ahlussunnah/aswaja berarti orang–orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.
KH. Sirajuddin Abbas mendefinisikan ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai kaum yang menganut I’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau (I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah : 2).
Drs. KH. Syamsudin Anwar, Mendefinisikan Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah penganut ajaran, paham (doktrin) yang menganut pada sunnah Nabi dan I’tiqad para sahabat Nabi (Ahlussunnah Wal Jama’ah Konteksnya dengan sumber daya manusia dan Lingkungan Hidup : 2)
Kemudian pengertian ini mengalami perubahan ketika Ahlussunnah diartikan menurut presfektif Nahhdhatul ‘Ulama (NU). Dalam Qanun Asasi yang dirumuskan Hadhrastus Syaikh KH. Hasyim ‘Asy’ari tertulis bahwa Aswaja merupakan sebuah paham keagamaan di mana dalam bidang aqidah menganut pendapat Abu Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi, dalam bidang fiqih menganut salah satu dari keempat madzhab (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
Tercatat ada 3 hadits, dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani. Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka itu, Rasul?" tanya sahabat. "Ma ana ‘Alaihi wa Ashabi," jawab Rasul.
Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunah wa al-jama’ah. Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata Aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Sebenarnya bukan hanya itu yang melatarbelakangi lahirnya Aswaja. Karena dicatat bahwa Aswaja lahir sebagai respon dari gejolak politik yang terjdi pada masa khulafaur Rasyidin. Yakni dimulai sejak perang shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Ali dalam tahkim dikarenakan pengkelabuan yang dilakukan dari pihak Muawiyyah.
Kemudian umat islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pendukung Ali, Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan keputusan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyyah. Selain ketiga golongan tersebut masih ada Murji’ah dan Qadariyyah.
Di antara kelompok-kelompk tersebut ada sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan bin Hasan Yasar al-Bashri lebih dikenal Imam Hasan al-Bashri (21-110 H/639-728 M) yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat cultural, ilmiah, dan berusaha mencari kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian antara berbagai fraksi politik (firqah) yang berkembang pada masa itu. Sebaliknya mereka mengembangkan system keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan system keberagamaan seperti ini mereka tidak mudah mengkafirkan golongan yang terlibat pertikaian politik ketika itu.
Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum Aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini,kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma,di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944 M) di Mesir. ( Nourouzzaman Shidiqi : 1996). Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah yang dipandang oleh Asy’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan lahirnya Ahlussunah wa al-jama’ah merupakan rsepon dari prtselisiahn politik pada masa itu, dimana ia lahir dengan mengenalkan kedamaian, keseimbangan, dan inilah sebenarnya ciri utama dari Ahlussunah wa al-jama’ah.
REFLEKSI ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL FIKRI
Sejak waktu berdirinya NU, hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja lebih didorongkan sebagai Madzab. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat digunakan dengan cara lain ?
Aswaja sebagi madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama yang dimaksud. Pengertian ini dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk mengadapinya. Selain itu pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab? Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai Manhaj Al-Fikri atau metode berpikir.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Al-Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam membuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan Aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Prf. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA) dalam sebuah forum di Jakarta padatahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumus ini diratifikasi menjadi konsep dasar Aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth(moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang).
Aktualisasi dari prinsip yang Pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapatkita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri.
Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
Dengan adanya transisi Aswaja dari madzhab menjadi Manhaj Al-Fikri sebenarnya memberikan udara segar bagi kita mengapa? Karena dengan demikian nantinya kita akan dapat menghasilkan pandangan-pandangan yang tentu relevan dengan keadaan yang sedang kita alami pada masa sekarang, bukan hanya itu hal ini membuka pintu kretivitas umat. Tapi perlu kita sadari dengan adanya transisi ini, kita dituntut untuk lebih giat, termotivasi dalam usaha kita tafaquh fi al-din, agar nantinya apa yang kita hasilkan benar-benar membawa kemashlahatan bagi umat.
Oleh Ali Masykur (Ketua Umum PMII Rayon Syariah Walisongo Semarang)
0 komentar:
Posting Komentar