Home » » IDEALISME POLITIK DI INDONESIA

IDEALISME POLITIK DI INDONESIA



Oleh
Cahyono Ketua Umum  PMII Rayon Syari’ah Komisariat IAIN Walisongo Semarang,

Sistem politik Indonesia tak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang. Para founding father bangsa telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu. Sistem politik pada masa reformasi ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan dalam mengelola idealisme pilitik di indonesia ini.
Dalam regulasi perkembangan politik di Indonesia, ini merupakan suatu reputasi yang perlu  dikaji kembali. Salah satu buah penting dari reformasi adalah tersediannya ruang kebebasan yang kian terasa cenderung tak bertepi. Setiap suara, keinginan, dan kepentingan memiliki hak yang sama untuk diaktualisasikan berbagai kalangan. Namun suara itu akan menjadi riuh, keinginan akan menjadi gaduh, bahkan keinginan akan berbuah rusuh, ketika upaya mewujudkannya dilakukan tanpa aturan. Inilah yang kita saksikan belakangan ini terkait dengan aktualisasi kepentingan elite politik dan menguatnya aspirasi masyarakat yang cenderung tak terkendali.
Sejalan dengan peristiwa yang terjadi di Desa Pamedaran, kec. Ketanggungan, kab. Brebes. Dalam pemilihan kepala desa, yang kerap disebut dengan PILKADES (12 Februari 2013), terjadilnya sebuah kontrak politik yang mengakibatkan suatu konflik sosial. Ini merupakan praktik politik yang dilakukan dengan sistem pragmatis dan tidak berdasarkan aturan, sehingga tak heran ketika masyarakat jadi korban politik. Dewasa ini, politik menjadi pintu masuk pemuas hasrat meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya demokrasi mengalami deviasi karena tindakan dan aksi atas nama demokrasi tak jarang berujung anarki. Ini merupakan muara dari perilaku politik yang mengalir melampaui mekanisme dan sistem yang tertoreh. Dalam konstitusi dan tata tertib hukum (law and order).
Kalau merujuk pada sistem pemerintahan sebagaimana tercantum dalam konstitusi terlihat jelas, bahwa negara kita menganut sistem presidensial. Namun dalam praktiknya sistem presidensil tersebut tampak berada di bawah hegemoni parlementerian. Bahkan tidak jarang, gurita otoritas yang dimainkan anggota parlemen cenderung menghegemoni seluruh ranah eksekutif yang secara struktural berdasarkan prinsip separation of power memiliki kedudukan yang sama, yaitu sebagai lembaga tinggi negara. Akibat distorsi ini, tidak jarang para anggota parlemen terjebak dalam jaring-jaring korupsi dan kolusi. Kenyataan tersebut, jelas merupakan deviasi dari fungsi dan tugas anggota parlemen sebagai pilar penting dalam penegakan demokrasi.
Itulah sebabnya proses politik dalam sistem demokrasi tidak hanya mengharuskan adanya aturan sebagai rujukan kolektif, tapi juga ketundukan untuk mematuhinya. Aturan seharusnya bukan sekedar rangkaian prosedur, tapi kultur yang distrukturkan. Aturan merupakan kristalisasi dari nilai-nilai dan logika yang berkembang dalam masyarakat yang diformulasikan dalam  prosedur-prosedur. Karena itu, aturan sejatinya berjalan kelindang dengan kepatuhan warga negara untuk mentaatinya, respek terhadap tatanan hukum. Ketika aturan hanya menjadi rangkaian prosedur yang tidak dihormati sikap dan perilaku warga negara, khususnya para elite politik, maka dapat dipastikan munculnya berbagai problem yang dampaknya tidaknya saja pada impotensi aturan, terhambatnya konsolidasi demokrasi.
Berpijak pada perkembangan politik yang masih jauh dari landasan etika tersebut, diperlukan langkah-langkah konstruktif. Pertama, reformasi perundangan. Dalam praktik politik akhir-khir ini banyak perdebatan tentang berbagai hal karena peraturan perundangan yang kurang jelas. Misalnya, adanya peraturan yang bertentangan dengan peraturan lainnya, maupun dengan ketentuan lebih tinggi. Hal ini terjadi karena hasrat untuk menempatkan konstitusi dan perundangan sebagai rujukan kolektif terkalahkan kepentingan-kepentingan pragmatis dan partisan. Kedua, reformasi budaya politik. Selama ini para elite masihmenunjukan budaya politik tradisional dan parokial sehingga tidak membawa daya dorong yang kuat bagi tumbuhnya partisipasi masyarakat. Karena itu, ketiga, pemberdayaan masyarakat sipil menjadi terabaikan. Paahal pemberdyaan ini dapat menjadi pintu masuk bag menguatnya tingkat partisispasi sekaligus kontrol terhadap perilaku politik elite. Dengan adanya kontrol publik yang kuat ini diharapkan etika politik bisa cepat terwujud dalam sikap dan perilaku para elite politik.
Secara ideologis, Indonesia memiliki landasan yang cukup kuat bagi terbangunnya etika politik. Sebagai rujukan nilai, ideologi pancasila merupakan landasan sintesis dari sekian ragam ideologi yang mendunia. Namun sayangnya landasan tersebut sempat terdistorsi kekuasaan pada masa rezim orde baru sehingga ia menjelma sebagai perangkat nilai yang teralienasi dari kesadaran warga negara. Dan fenomena seperti ini bisa terjadi juga pada saat ini, ketika peraturan bahkan konstitusi hasil amandemen dibiarkan tak lebih sebagai  kumpulan tata hukum dan prosedur tanpa manifestasi dalam kultur. Karena itu persoalan aktualisasi dan pengejawantahan konstitusi menjadi urgen agar proses politik tidak hanya melahirkan tata hukum dan prosedur yang justru membelenggu  di satu pihak, dan ternodai di pihak lain. Inilah anomali etika politik dalam masyarakat yang masih bergulat dalam transisi.
Realitas tersebut nampaknya merupakan dampak lanjutan dari krisis yang bermula sejak 1997. Krisis ekonomi dan politik saat itu mengakibatkan munculnya krisis sosio-kultural dalam kehdupan bangsa. Jalinan tenun sosial tercabik-cabik yang tercermin dalam betuk disorientasi dan dislokasi di tengah euforia kebebasan yang hampir kebablasan. Lenyapnya kesabaran sosial dalam menjalani realitas kehidupan yang sulit melahirkan sensitivitas yang berlebih dan emosional yang cenderung tanpa batas. Dalam kondisi demikian kepatuhan pada hukum, etika, moral, kesantunan sosial, dan logika politik seolah telah menjadi mati.
Dengan begitu, kekerasan dan konflik bernuansa etnis dan agama mudah meledak bahkan karena alasan-alasan sederhana. Di tingkat elite, tak jauh berbeda. Sensitivitas dan emosi menguat akibat orientasi kekuasaan begitu dominan dibandingkan tanggungjawab dalam public serive. Bahkan tidak jarang sensitivitas dan emosi itu berujung pada konflik berkepanjangan dan mengganggu tugas di ranah publik.   



0 komentar:

Posting Komentar

Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS