Home » » AKAL DAN HATI PADA ZAMAN YUNANI KUNO

AKAL DAN HATI PADA ZAMAN YUNANI KUNO


Berdasarkan uraian pada bab yang sudah di bahas sebelumnya dapat kita ketahui, bahwa pelaku filsafat adalah akal, dan “musuh” nya adalah hati, rasa. Pertentangan atau kerjasama antara akal dan hati itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat, memang pusat kendali kehidupan manusia terletak di tiga tempat, yaitu indera, akal, dan hati. Namun, akal dan hati itulah yang paling menentukan. Diantara keduanya, dalam sejarah, telah terjadi pergumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.

Yang dimaksud dengan akal di sini adalah akal logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati ialah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada. Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik, iman termasuk di sini. Rivalitas antara keduanya telah terjadi dalam sejarah peradaban. Titik-tik merah yang di situ telah terjadi pertarungan hebat antara kedua-duanya mula-mula terjadi antara sofisme dan Socrates, yang ke dua antara credo ut intelligamnya abad pertengahan dan Descartes, dan yang ke tiga antara sofisme modern di satu pihak dan Kant pihak lain.

Pada zaman Yunani Kuno, secara pukul rata akal menang, ini dihentikan oleh Descartes. Sejak Descartes, iman kalah dan akal menang. Setelah itu ada lagi orang yang mengeram akal, yaitu Kant. Hasilnya: Kant memenangkan kedua-duanya. Socrates meneguhkan kembali sains dan agama, Kant juga demikian. Jadi kalau begitu, pertarungan antara akal dan hati itu adalah pertarungan antara filsafat (rasio) dan agama (iman). Akan tetapi, bagaimana hal ini dapat dijelaskan?.[1]

THALES

Siapakah filsafat barat yang pertama? Walaupun membatasi fokus perhatian kita pada daerah pantai-pantai Yunani Kuno, jawaban terhadap pertanyaan yang terlalu kompetitif ini sama sekali tidak jelas.[2]

Jawaban standar adalah Thales, yang tinggal di Miletus pada abad ke tujuh? (625?-547?). Sesungguhnya, sangat sedikit yang kita ketahui tentang dirinya dan tak satu pun dari tulisan-tulisannya yang kita miliki. Sedikit yang betul-betul kita ketahui tentang dia berasal dari Aristoteles yang tidak selalu dapat di percaya.

Thales menganggap bahwa dunia dikelilingi oleh air dan pada akhirnya, berasal dari air, ide yang sangat mungkin berasal dari kosmogoni purba Yunani di kebudayaan-kebudayaan lain. Akan tetapi, konversi ide ini menjadi tesis kosmologis  yang mungkin disebabkan oleh Aristoteles yang memeriksa teori Thales, demi tujuan-tujuan pribadi, karena mirip dengan pendahulunya, dan kemudian memperbaikinya agar berkaitan dengan “bahan” (stuff) fundamental alam semesta.

Thales sama sekali tidak mengatakan bahwa segala sesuatu terbuat dari air.[3] Ia memperdebatkan bersama-sama dengan para pemikir di zamannya bahwa dunia dikelilingi oleh air, dan tampaknya ia menduga bahwa dalam arti tertentu sumber segala benda adalah air, tetapi ini masih kurang sebagai teori fisik bahwa segala sesuatu pada dasarnya  adalah air.

Namun, dalam usaha memutuskan dengan tradisi mitologis  yang menjelaskan segala yang ada di alam dalam kerangka para Dewa, para Dewi, dan roh-roh lain, Thales mengadopsi apa yang bisa kita sebut pandangan naturalistik, suatu sudut pandang ilmiah, suatu penjelasan fenomena alamiah lainnya yang mudah di pahami. Karena itu, setidaknya menurut beberapa orang, ia patut disebut sebagai filsuf yang pertama.

Tetapi, ada beberapa alasan untuk meragukan anggapan ini, yang juga memunculkan pertanyaan tentang apa yang kita maksud dengan label terhormat, “filsuf”. Jika filsafat adalah suatu usaha untuk memahami tatanan (order) dalam dunia, usaha untuk menjelaskan  mengapa hal-hal terjadi dan mengapa harus terjadi, jika filsafat adalah untuk memahami, misalnya, bagaimana menjadi seorang manusia, dimana tempat yang cocok bagi kita di dalam alam semesta, apa yang terjadi pada kita setelah kematian, maka filsafat pastilah sudah ada lebih dulu daripada Thales berabad-abad sebelumnya.[4]                

                                                                                                                                    

Dipahami dalam kerangka ini, filsafat dapat ditelusuri kembali sampai pada para penyair, homerus dan hesiod, dan ditelusuri lebih lanjut hingga ke belakang hingga pada peradaban Minoan kuno di kereta, dan masih mundur di belakang sampai peradaban-peradaban kuno Mesir, Sumeria, Babhilonia, dan diantara peradaban-peradaban lainnya. Akan tetapi, mengartikan berdasarkan model ilmu-ilmu alam, sebagai usaha untuk menjelaskan dunia tanpa rujukan apa pun kepada dewa-dewi dan roh-roh, maka Thales juga bukan filsuf yang pertama. Dalam kata-katanya sendiri, Thales jelas percaya bahwa “ada dewa-dewi di dalam semua benda”. Memang, kita harus menunggu beberapa abad sebelum kita menjumpai para filsuf yang tidak sama dengan para animis, yang melihat segala benda sebagai makhluk hidup dengan kata lain “bernyawa” (animated).[5]

Thales (624-546 SM), orang Miletus itu, digelari bapak filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat. Gelar itu diberikan karena ia mengajukan pertanyaan yang amat mendasar, yang jarang diperhatikan orang, juga orang zaman sekarang: what is the nature of world stuff? Tak pelak lagi pertanyaan ini amat mendasar. Terlepas dari apa pun jawabannya, pertanyaan ini saja telah dapat mengangkat namanya menjadi filosof pertama. Ia sendiri menjawab air. Jawaban ini sebenarnya amat sederhana dan belum tuntas.

Belum tuntas karena dari apa air itu? Thales mengambil air sebagai asal alam semesta barangkali ia melihatnya sebagai sesuatu yang amat diperlukan dalam kehidupan, dan menurut pendapatnya bumi itu terapung di atas air (Mayer, 1950:18). Lihatlah jawabannya amat sederhana, pertanyaan jauh lebih berbobot ketimbang jawabannya. Masih adakah orang yang beranggapan bahwa bertanya itu tidak penting? Thales menjadi filosof karena ia bertanya. Pertanyaan itu di jawabnya dengan menggunakan akal, bukan menggunakan agama atau kepercayaan lainnya. Alasannya karena air penting bagi kehidupan. Di sini akal mulai digunakan lepas dari keyakinan.[6]

Oleh: Cahyono

[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum

[2] Robert C. Solomon, Sejarah Filsafat

[3] Ibid hlm. 49

[4] Ibid hlm. 50

[5] Ibid hlm. 50

[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum

0 komentar:

Posting Komentar

Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS