Sejarah Feminisme
Feminisme merupakan gerakan perempuan yang awalnya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan selama ini ditindas dan tereksploitasi hak-haknya. Wanita (perempuan) dipandang sebagai second people, yakni makhluk lemah yang selalu bergantung pada kekuatan laki-laki dalam menjalankan fungsi kehidupan, dalam segala bidang kehidupan, dan perempuan dibentuk (dikondisikan) agar tidak melebihi laki-laki.
Dari realitas, kemudian menggugah perjuangan feminisme untuk memperoleh “Equal of Live” (kesetaraan martabat dalam kehidupan) baik dalam maupun luar rumah. Gerakan transformasi ini berujung menegakkan keadilan. Egalitarianisme manusia ini disebarkan di Eropa antara abad-13 dan 18 oleh tokoh-tokoh agama, sekte-sekte dan petani. Pada abad 18 di masa filosof, zaman enlightment (masa pencerahan) yang memandang akal dan logika lebih dominan.
Gagasan inilah yang melatarbelakangi ide-ide dari gerakan perempuan. Gerakan perempuan di Barat (Eropa dan Amerika Utara) dibagi dalam dua gelombang. Yaitu abad ke-18 dan 19 dan yang kedua pada tahun 60-an yang dibagi dalam tiga konteks (peristiwa) yaitu revolusi Perancis 1789, revolusi industri, dan perang kemerdekaan di Amerika Utara.
Pewacanaan Gender dan Seks
Gender dan seks dalam arti etimologinya sama, yaitu berarti “jenis kelamin”. Akan tetapi dalam pemakuan istilah, gender digambarkan sebagai atribut yang diletakkan pada seseorang, dikodifikasikan dan dilembagakan secara sosial maupun kultural. Gender berhubungan dengan pemikiran dan harapan masyarakat Untuk melakukan peranan terbaik sebagai laki-laki dan perempuan. Gender adalah suatu bentukan sosial. Penempatan nilai gender daerah satu dengan daerah yang lain berbeda sesuai setting sosialnya.
Sedangkan secara etimologi mempunyai makna sama, seks mempunyai pengertian, adalah atribut yang melekat secara biologis (alami) pada perempuan dan laki-laki, Seperti alat kelamin laki-laki dan perempuan, dan ciri-ciri biologis lainnya.
Kalau kita bisa membedakan antara gender dan seks, maka kita akan melihat kalau selama ini dalam kehidupan sehari-hari banyak pendiskreditan gender (dalam peranannya). Adapun akar ketimpangan (bias gender) karena bentukan lingkungan, budaya dan tradisi patriarkhi. Budaya patriarkhi dalam sistem perilaku individu (masyarakat) yang membatasi (menyingkirkan) peran perempuan dengan pelabelan-pelabelan negatif. Dalam kehidupan sosial misalnya, dalam organisasi sering terjadi pembedaan peran yang didasarkan jenis kelamin. Jabatan struktural tertentu (sekretaris, bendahara, konsumsi) sering diberikan kepada perempuan. Sedangkan posisi struktural seperti ketua, perlengkapan, pubdekdok hanya bisa diisi oleh kaum laki-laki saja, karena perempuan dianggap tidak mampu. Perempuan hanya dianggap sebagai pupuk bawang (penyemangat atau penghibur) dalam kerja organisasi.
Awal Mula Praktek Penindasan pada Perempuan.
Dalam lintasan sejarah, peran-peran dan pembagian kerja dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seksual. Menurut Michele Rosaldo dan Loise Lamphere, pembagian ini dibedakan menjadi 4 :
1. Masyarakat berburu dan meramu.
Dalam masa primitif ini peran sosial-ekonomi menempatkan laki-laki sebagai pemburu dan perempuan sebagai peramu. Laki-laki berkesempatan mendapatkan pengakuan dan prestise. Semakin banyak dan besar hasil buruan, semakin besar pula kekuasaan yang diperoleh termasuk atas perempuan.
2. Masyarakat Holtikultura.
Perempuan mempunyai akses dalam produksi dan ekonomi perkebunan.
3. Masyarakat agraris.
Perempuan menempati posisi kerumahtanggaan yang miskin produksi dan ekonomi. Timbulnya dikotomi luar dalam (Inside-outside dichotomy) atau lingkungan publik-domestik (Domestik Publik Spere). Gender pada masyarakat agraris ini ditandai dengan ciri-ciri masyarakat patriarkhi yang memberikan peranan lebih besar pada laki-laki.
4. Masyarakat Industri.
Masyarakat industri mengacu pada orientasi produksi dan perempuan dianggap sebagai the second class. Perempuan hanya dianggap tenaga cadangan ketika memasuki dunia industri.
Mitos sebagai salah satu produk budaya, juga ikut bertanggung jawab dalam membentuk konstruksi hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Mitos penciptaan perempuan dari rusuk laki-laki yang bengkok dan seputar menstruasi mengesankan perempuan sebagai the second class dan the second creation. Mitos ini mengendap dalam pikiran bawah sadar perempuan dan laki-laki dalam waktu yang sangat lama, mereka menganggapnya sebagai kebenaran dan keyakinan.
Gender dalam Agama
“Hai manusia, kami telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa” (Q.S Al-Hujrat :13)
“Siapa saja laki-laki atau perempuan yang beramal sholih dan dia beriman, niscaya kami berikan kehidupan yang baik”, (Q.S An-Nahl:97).
Turunnya ayat-ayat Al Qur’an tersebut adalah langkah spektakuler dan revolusioner. Ia dapat merubah tatanan masyarakat Arab pada saat itu. dan mampu mendekonstruksikan peradaban, kebudayaan, dan tradisi yang diskriminatif dan misaginis (laki-laki yang benci perempuan) yang lama dipraktekkan oleh masyarakat pra-Islam. Islam secara bertahap mengembalikan lagi otonomi perempuan sebagai manusia merdeka. Tujuan diciptakanya manusia adalah sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi yang nantinya akan mempertanggungjawabkan dirinya sebagai individu dan makhluk sosial. Karena sesungguhnya sudah jelas seperti yang diungkapkan pada ayat di atas bahwa di mata Allah SWT laki-laki dan perempuan adalah sama, yang membedakan dari keduanya adalah tingkat ketakwaan, amal shalih dan iman. Sehingga Allah telah menjanjikan kepada mereka kehidupan yang lebih baik.
Gender sebagai Pisau Analisa Sosial
Penyadaran akan arti pentingnya pemahaman gender dalam situasi multikultural saat ini sangatlah penting, di mana banyak kerancuan pikir tentang gender dalam segala aspek kehidupan. Memahami gender dapat diartikan sebagai memahami perempuan dan budaya yang melingkupinya. Gender adalah alat analisa berpikir tentang struktur sosial. Gender dapat digunakan pisau analisa dalam melihat fenomena sosial, politik, budaya, ekonomi di Indonesia. Memahami gejolak masyarakat Grastroot (buruh, pekerja rumah tangga, WTS, Anjal/anak jalanan, Waria) dan issue-issue lain yang berkembang saat ini untuk kita cermati sebagai kesadaran kita memahami realitas sosial. Advokasi berbasis gender sangat penting sebagai bahan kajian, karena advokasi bukan hanya untuk perempuan tapi untuk kasus sosial secara umum. Sehingga gender dapat meraih advokasi yang cerdas & tekun (Strategis).
Oleh Linta Wihdati (Anggota Lembaga Studi Advokasi Rayon Syari'ah (eLSARS) PMII Rayon Syariah Walisongo Semarang)
Pewacanaan Gender dan Seks
Gender dan seks dalam arti etimologinya sama, yaitu berarti “jenis kelamin”. Akan tetapi dalam pemakuan istilah, gender digambarkan sebagai atribut yang diletakkan pada seseorang, dikodifikasikan dan dilembagakan secara sosial maupun kultural. Gender berhubungan dengan pemikiran dan harapan masyarakat Untuk melakukan peranan terbaik sebagai laki-laki dan perempuan. Gender adalah suatu bentukan sosial. Penempatan nilai gender daerah satu dengan daerah yang lain berbeda sesuai setting sosialnya.
Sedangkan secara etimologi mempunyai makna sama, seks mempunyai pengertian, adalah atribut yang melekat secara biologis (alami) pada perempuan dan laki-laki, Seperti alat kelamin laki-laki dan perempuan, dan ciri-ciri biologis lainnya.
Kalau kita bisa membedakan antara gender dan seks, maka kita akan melihat kalau selama ini dalam kehidupan sehari-hari banyak pendiskreditan gender (dalam peranannya). Adapun akar ketimpangan (bias gender) karena bentukan lingkungan, budaya dan tradisi patriarkhi. Budaya patriarkhi dalam sistem perilaku individu (masyarakat) yang membatasi (menyingkirkan) peran perempuan dengan pelabelan-pelabelan negatif. Dalam kehidupan sosial misalnya, dalam organisasi sering terjadi pembedaan peran yang didasarkan jenis kelamin. Jabatan struktural tertentu (sekretaris, bendahara, konsumsi) sering diberikan kepada perempuan. Sedangkan posisi struktural seperti ketua, perlengkapan, pubdekdok hanya bisa diisi oleh kaum laki-laki saja, karena perempuan dianggap tidak mampu. Perempuan hanya dianggap sebagai pupuk bawang (penyemangat atau penghibur) dalam kerja organisasi.
Awal Mula Praktek Penindasan pada Perempuan.
Dalam lintasan sejarah, peran-peran dan pembagian kerja dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seksual. Menurut Michele Rosaldo dan Loise Lamphere, pembagian ini dibedakan menjadi 4 :
1. Masyarakat berburu dan meramu.
Dalam masa primitif ini peran sosial-ekonomi menempatkan laki-laki sebagai pemburu dan perempuan sebagai peramu. Laki-laki berkesempatan mendapatkan pengakuan dan prestise. Semakin banyak dan besar hasil buruan, semakin besar pula kekuasaan yang diperoleh termasuk atas perempuan.
2. Masyarakat Holtikultura.
Perempuan mempunyai akses dalam produksi dan ekonomi perkebunan.
3. Masyarakat agraris.
Perempuan menempati posisi kerumahtanggaan yang miskin produksi dan ekonomi. Timbulnya dikotomi luar dalam (Inside-outside dichotomy) atau lingkungan publik-domestik (Domestik Publik Spere). Gender pada masyarakat agraris ini ditandai dengan ciri-ciri masyarakat patriarkhi yang memberikan peranan lebih besar pada laki-laki.
4. Masyarakat Industri.
Masyarakat industri mengacu pada orientasi produksi dan perempuan dianggap sebagai the second class. Perempuan hanya dianggap tenaga cadangan ketika memasuki dunia industri.
Mitos sebagai salah satu produk budaya, juga ikut bertanggung jawab dalam membentuk konstruksi hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Mitos penciptaan perempuan dari rusuk laki-laki yang bengkok dan seputar menstruasi mengesankan perempuan sebagai the second class dan the second creation. Mitos ini mengendap dalam pikiran bawah sadar perempuan dan laki-laki dalam waktu yang sangat lama, mereka menganggapnya sebagai kebenaran dan keyakinan.
Gender dalam Agama
“Hai manusia, kami telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa” (Q.S Al-Hujrat :13)
“Siapa saja laki-laki atau perempuan yang beramal sholih dan dia beriman, niscaya kami berikan kehidupan yang baik”, (Q.S An-Nahl:97).
Turunnya ayat-ayat Al Qur’an tersebut adalah langkah spektakuler dan revolusioner. Ia dapat merubah tatanan masyarakat Arab pada saat itu. dan mampu mendekonstruksikan peradaban, kebudayaan, dan tradisi yang diskriminatif dan misaginis (laki-laki yang benci perempuan) yang lama dipraktekkan oleh masyarakat pra-Islam. Islam secara bertahap mengembalikan lagi otonomi perempuan sebagai manusia merdeka. Tujuan diciptakanya manusia adalah sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi yang nantinya akan mempertanggungjawabkan dirinya sebagai individu dan makhluk sosial. Karena sesungguhnya sudah jelas seperti yang diungkapkan pada ayat di atas bahwa di mata Allah SWT laki-laki dan perempuan adalah sama, yang membedakan dari keduanya adalah tingkat ketakwaan, amal shalih dan iman. Sehingga Allah telah menjanjikan kepada mereka kehidupan yang lebih baik.
Gender sebagai Pisau Analisa Sosial
Penyadaran akan arti pentingnya pemahaman gender dalam situasi multikultural saat ini sangatlah penting, di mana banyak kerancuan pikir tentang gender dalam segala aspek kehidupan. Memahami gender dapat diartikan sebagai memahami perempuan dan budaya yang melingkupinya. Gender adalah alat analisa berpikir tentang struktur sosial. Gender dapat digunakan pisau analisa dalam melihat fenomena sosial, politik, budaya, ekonomi di Indonesia. Memahami gejolak masyarakat Grastroot (buruh, pekerja rumah tangga, WTS, Anjal/anak jalanan, Waria) dan issue-issue lain yang berkembang saat ini untuk kita cermati sebagai kesadaran kita memahami realitas sosial. Advokasi berbasis gender sangat penting sebagai bahan kajian, karena advokasi bukan hanya untuk perempuan tapi untuk kasus sosial secara umum. Sehingga gender dapat meraih advokasi yang cerdas & tekun (Strategis).
Oleh Linta Wihdati (Anggota Lembaga Studi Advokasi Rayon Syari'ah (eLSARS) PMII Rayon Syariah Walisongo Semarang)
0 komentar:
Posting Komentar