Home » » KRITIK WACANA AGAMA Sebagai Materi PKD

KRITIK WACANA AGAMA Sebagai Materi PKD

Kritik berasal dari kata bahasa Yunani kritikos yang berarti kemampuan menganalisa dan menilai sesuatu. Meskipun filsafat kritis membentang dari kritisisme sampai teori kritis; dari Kant, Hegel, Marx, Freud sampai madzhab Frankfurt (Habermas dkk), tetap saja orang akan mula-mula merujuk pada kritisisme yang digagas Immanuel Kant (1724-1804). Kritisisme apa yang dimaksudkan Kant? Melalui trilogy kritik-nya yang sangat terkenal yakni; (1)Kritik der Reinen Vernunft (Kritik atas rasio murni), (2) Kritik der Praktischen Vernunft (Kritik atas rasio praktis) dan (3) Kritik der Urteilskraft (Kritis atas daya pertimbangan), Kant ingin menegaskan bahwa aufklarung adalah jalan keluar untuk membebaskan manusia yang masih menggantungkan diri pada otoritas diluar dirinya. Pendeknya, Kant menyatakan bahwa harus ada upaya untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat kemampuan rasio agar kita bisa menentukan apa yang mungkin diketahui, kita kerjakan dan kita gantungi harapan. Inilah kritisisme yang maksud Kant.
Dengan trilogi kritiknya itu, Kant berusaha “memeriksa kesahihan pengetahuan” secara kritis, tidak dengan pengujian empiris dan rasional, melainkan dengan asas-asas a priori dalam diri subjek. Karena itu filsafatnya terkadang disebut juga transendentalisme, sebab ia mau menemukan asas-asas a priori dalam rasio kita yang berkaitan dengan objek-objek dunia luar; yakni apa yang disebutnya sebagai die bedingung der moglickheit (syarat-syarat kemungkinan) dari pengetahuan kita. Sebuah penelitian disebut transcendental kalau memusatkan diri pada kondisi-kondisi yang murni dalam subjek pengetahuan. Di sini Kant sebenarnya mau membuat sintesis antara empirisme yang mementingkan pengetahuan a posteriori dengan rasionalisme yang mementingkan pengetahuan a priori. Dalam filsafat Kant, pengetahuan dijelaskan sebagai hasil sintesis antara unsur-unsur a priori dan a posteriori.
Filsafat Kant biasanya disebut kritisisme. Istilah ini lazimnya dipertentangkan dengan dogmatisme. Jika dogmatisme merupakan filsafat yang menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya, kritisisme dipahami sebagai filsafat yang lebih dulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya. Dengan kata lain, Kant ingin mengatakan bahwa kritisisme adalah filsafat yang lebih dulu menyelidiki die bedingung der moglickheit pengetahuan kita. Oleh Karenanya, Kant menyebut beberapa filsuf sebelum dirinya sebagai filsuf dogmatis dan yang terbesar dari mereka menurutnya adalah Wolff. Mereka ini bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisikan itu. Demikianlah bahwa kata kritik dipahami oleh Kant sebagai pengujian tentang kesahihan pengetahuan.

WACANA. Barasal dari kata bahasa Inggris discourse. Biasa juga disebut diskursus. Istilah ini banyak dibicarakan dalam Hermeneutika (Filsafat penafsiran dan pemahaman). Paul Ricoeur, misalnya, menegaskan bahwa tugas hermeneutika adalah untuk menafsirkan dan memahami “teks”, yang ia definisikan sebagai any discourse fixed by writing. Jadi unsur utama dari teks, menurut Ricoeur, adalah wacana.

Dengan istilah wacana, Ricouer merujuk kepada bahasa sebagai event, yakni bahasa yang membicarakan sesuatu. Ini digunakannya untuk membedakan bahasa sebagai meaning. Jika bahasa sebagai meaning adalah dimensi non-historis dan statis, maka bahasa sebagai event adalah dimensi yang hidup dan dinamis. Ricouer mengatakan: “bahasa selalu mengatakan sesuatu, sekaligus tentang sesuatu”. Pendeknya, wacana adalah bahasa ketika ia digunakan untuk berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Bahasa lisan membentuk komunikasi langsung sehingga hermeneutika tidak diperlukan karena ujaran yang disampaikan (speech) masih terikat langsung pada pembicaranya dan maknanya masih bisa dirujuk langsung kepada intonasi maupun gerak isyarat (gesture) sipembicara.

Sementara, bahasa tulisan (teks) merupakan korpus yang otonom karena, menurut Ricoeur, memiliki kemandirian dan totalitas yang dicirikan oleh 4 hal, yakni: (1) dalam teks, makna terdapat pada “apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua hal tersebut tidak terpisahkan. (2) oleh karenanya, makna teks menjadi tidak terikat lagi kepada pembicaranya sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksudkan teks menjadi tidak terikat lagi dengan apa yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya karena terhalang oleh teks yang sudah membaku. Riceour sempat mengatakan “kematian penulis” meski ia lebih suka menyatakan penulis sebagai “pembaca pertama”. (3) karena tidak lagi terikat pada sistim dialog, maka teks tidak lagi terikat pada konteksnya semula (ostensive reference), ia tidak terikat lagi pada konteks awal pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri. (4) dengan demikian juga, teks tidak lagi terikat dengan audiens awal, sebagaimana bahasa lisan terikat pada pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membaca, dan tidak terbatas pada ruang dan waktu tertentu.

Filsuf lainnya yang banyak membicarakan wacana adalah Michel Foucault. Melalui metodologi arkeologi pengetahuan (archeology of knowledge), Foucault mengulas lebih jauh tentang wacana (discourse), bentuk wacana (discursive formation), pernyataan (statement), dan praktik wacana (discursive practice). Dalam the Discourse on Language (yang termuat dalam the Archeology of Knowledge), Foucault memperkenalkan teori kuasa dalam teori wacana. Dalam hal ini, kuasa dilihat dengan cara pandang negative, yaitu sebagai prosedur yang membatasi wacana. Lebih jauh, menurut Foucault, dalam setiap masyarakat, produksi wacana adalah sekaligus dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan diretribusikan menurut sejumlah prosedur pasti yang fungsinya digunakan untuk menghindari bahaya dan kuasanya, mengatasi peristiwa yang tak terduga, mengelakkan dari hal yang buruk dan materialitas yang mempesona. Dalam sebuah masyarakat, ada sejumlah prosedur atau aturan eksklusi, yang dikategorikan menjadi 3 yakni: (1) larangan yang saling-bersilang dan mempengaruhi satu sama lain dalam jaringan yang kompleks, biasanya dalam seksual dan politik, (2) adanya aturan pemisahan dan penolakan, biasanya dalam reasons dan kegilaan, (3) oposisi antara yang benar dan salah, contohnya dalam masyarakat tertentu, yang benar dan yang kuasa dari suatu wacana bukan terletak dalam apa yang dikatakan, tapi dalam siapa yang mengatakan dan bagaimana itu dikatakan.

Praktik wacana (discursive practice) sebagai proses produksi, distribusi dan konsumsi teks dipandang Foucault sangat penting sebagai sebuah medium dan instrument dari pergulatan kuasa, perubahan dan juga konstruksi sosial. Pergulatan kuasa berlangsung baik di dalam maupun atas wacana. Wacana mentransmisikan, memproduksi dan mengukuhkan kuasa, tetapi sekaligus juga melemahkan kuasa, membuatnya menjadi rapuh dan memberi kemungkinan untuk merintangi kuasa. Maka, mengubah praktik wacana merupakan elemen penting bagi perubahan masyarakat. Ini karena wacana, paling tidak, memberi kontribusi bagi pembentukan identitas dan relasi social dan pembentukan ideasional atau sistim-sistim pengetahuan dan kepercayaan social.

Lebih jauh, Foucault juga konsern dengan kritik sejarah, terutama dikaitkan dengan metode-metodenya yang khas, yakni arkeologi (pengetahuan) dan genealogi. Arkeologi, menurut Foucault, adalah untuk menguji archive (arsip), yakni sistim-sistim yang memantapkan statemen-statemen baik sebagai peristiwa (dengan kondisi dan ruang pemunculannya) maupun sebagai sesuatu atau material (dengan kemungkinan dan aplikasinya). Dengan demikian, tugas arkeologi adalah untuk menganalisis historical apriori of episteme (apriori histories atas episteme/sistim pemikiran). Episteme adalah kondisi yang memungkinkan bagi munculnya pengetahuan dan teori dalam masa tertentu. Untuk itu arkeologi (pengetahuan) harus memperlihatkan konfigurasi dari pengetahuan yang muncul yang berbeda dari pengetahuan yang empiris atau eksplisit. Implikasinya dalam bidang sejarah pemikiran adalah semakin berkembangbiaknya diskontinuitas-diskontinuitas dalam sejarah pemikiran karena kecenderungan untuk menekankan pada kontinuitas akan semakin ditinggalkan.

Sementara itu, genealogi bertujuan untuk melawan penulisan sejarah dengan metode tradisional. Genealogi merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian masa kini. Menurut Foucault, sejarah selalu ditulis dalam perspektif masa kini. Genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus. Sebaliknya, ia berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal (accidents) dan mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan (the minutes of deviation).

Jurgen Habermas, filsuf teori kritis, juga tidak boleh kita lupakan ketika membicarakan wacana. Konsepnya tentang ruang public (public sphere) sangatlah penting. Hal ini karena ruang public merupakan lokasi tempat banyak wacana diekspresikan dan merupakan tempat kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan. Istilah ruang publik merujuk pada domain kehidupan social tempat opini public terbentuk. Habermas membedakan ruang public borjuis dan ruang public ideal. Ruang public borjuis semata-mata didasarkan atas dasar komposisi kelas dari para anggotanya. Ketika ruang public ini semakin meluas dan semakin banyak partisipannya, situasi ini akan menyebabkan degenerasi terhadap kualitas dari wacana public. Dalam ruang public ideal, menurut Habermas, terjamin adanya kesetaraan serta argument yang kritis dan rasional. Partisipan dalam diskursus public ini tidak terhambat oleh ketidaksetaraan dalam kuasa atau ruang. Para warga negara, misalnya, bisa mempengaruhi negara tanpa harus mengalami tekanan koersi negara. Pengaruh ini untuk sebagian bersifat informal dan menjadi bersifat formal secara periodic hanya selama pemilihan umum.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dari Habermas adalah konsepnya tentang kritik ideology. Dalam hermeneutika, menurut Habermas, penafsiran bukanlah merupakan unproblematic meditation of subjectivities hanya karena disatukan oleh eksistensi mereka dalam suatu tradisi umum. Lebih jauh, bahkan tradisinya itu sendiri harus dikenai analisis kritis, yakni kita perlu mengetahui apa yang tersembunyi dibalik wacana-wacana dominant, bagaimana sebuah consensus akhirnya dibentuk dan berbagai penjelasan tentang diskontinuitas makna dan kesalahpahaman. Asumsinya, selain berfungsi sebagai landasan primer komunikasi, Habermas juga mengkritik bahasa sebagai medium dominasi dan kekuasaan dalam masyarakat. Standar penafsiran yang memadai, dengan demikian, bukan hanya aspek-aspek internal kebahasaan dan makna yang tersembunyi dari teks. Lebih jauh, ia adalah juga keputusan yang berasal dari factor eksternal, dan hal itu terkait dengan identifikasi hubungan dan proses social politik yang memproduksi, mendistorsi, mengolah dan memonopoli makna, sehingga terjadi proses yang, meminjam istilah Gramsci, kita kenal sebagai hegemoni.

Menurut Habermas, kritik ideology dapat kita lakukan dengan 4 tahapan, yakni: (1) Deskripsi dan interpretasi situasi yang ada. Pada tahapan ini penelitian hermeneutika (verstehen) diperlukan untuk mengidentifikasi dan memahami situasi yang ada, (2) Melakukan refleksi terhadap factor penyebab situasi yang ada serta tujuan yang ingin dicapainya. Pada tahap ini dilakukan analisis kepentingan, ideology, kekuasaan serta legitimasinya, baik pada skala mikro dan makro sosiologis. Tahap ini oleh Habermas disebut Psikoanalisis yakni mencari berbagai factor bawah sadar yang menekan, mendistorsi dan menindas alam bawah sadar yang menghambat manusia mengetahui kondisi yang sebenarnya. Diharapkan masyarakat akan menyadari distorsi ideologis yang berakibat pada pelanggengan situasi social yang tidak adil dan bertentangan dengan pemberdayaan demokrasi, (3) Menyusun agenda untuk mengubah situasi menuju masyarakat egaliter, dan (4) Melakukan evaluasi. Ideologi dengan demikian dipahami bukan hanya teoritis, tapi berdampak langsung pada praktek kehidupan, karena itu metodologi yang dipakai dalam teori kritis disebut juga riset aksi (action research), gabungan antara riset dan aksi dalam bentuk pemberdayaan dan emanspiatoris.

AGAMA. Ada banyak sekali penjelasan tentang agama dari para filsuf. Tetapi disini akan dijelaskan penjelasan Immanuel Kant, yang cukup influential. Di dalam bukunya Religion innerhalb der Grenzen der Bloszen Vernunft (Agama didalam batas-batas rasio murni) (1973), Kant menjelaskan bahwa moralitas akan mengarahkan kita pada agama. Mengapa demikian? Menurut Kant, perealisasian yang memadai dalam pengalaman bagi perintah sebagai kategori tidaklah mungkin. Manusia hanya dapat mencapainya dengan pertolongan Allah. Adanya harapan akan kebahagiaan, itulah awal dari agama. Jadi menurut Kant, agama harus dijabarkan dari ketentuan-ketentuan duniawi. Manusia yang telah menjadi sadar akan tujuan hidupnya, yang disebabkan karena perintah-perintah moral dalam dirinya, membangun suatu hidup diseberang sana (akhirat), yang keadaannya disesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam hidup diseberang sini (dunia). Kemudian hubungan antara hidup diseberang sini dan hidup di seberang san itu dijadikan suatu hubungan privat, antara manusia dengan Allah. Maka tampillah kewajiban-kewajiban manusia, yang semula keluar dari dirinya sendiri itu, sebagai perintah-perintah Allah. Demikianlah moralitas mengarahkan kita pada agama.

Dengan itu, Kant bermaksud membuat sintesis antara agama yang murni akali dengan agama seperti yang diajarkan Kristen. Kant tidak setuju jika agama Kristen dipandang sebagai soal mengamini saja apa-apa yang diajarkan Gereja. Ia juga tidak setuju jikalau dogma-dogma gereja dipandang sebagai hal-hal yang pasti mutlak. Kant mengungkapkan bahwa apa yang diungkapkan al-Kitab sebagai hal yang diwahyukan itu sebenarnya dapat diketahui juga melalui rasio murni. Filsafat agama menerima dari moralitas pengertian tentang “hal yang tertinggi” dan bagaimana cara mendekatinya. Cara tersebut, salah satunya, lahir dari dualisme noumena dan fenoumena yang dibangun Kant. Menurut Kant, jika kita melihat tembok, tembok dihadapan kita itu menurut Kant bukanlah tembok pada dirinya sendiri, bukan benda itu sendiri (das ding an sich), melainkan hanyalah penampakkan tembok itu sejauh kita tangkap dengan panca indera. Tembok yang sejati tidak pernah terlihat, karena dia berada dalam dunia noumena di seberang dunia fenoumena. Kita bisa melihat tembok, karena tembok an sich itu menimbulkan penginderaan pada diri manusia yang pada gilirannya penginderaan kita melihat tembok itu (tidak sebagaimana adanya, melainkan) menurut struktur a priori penginderaan (kita).

Para filsuf (agama) Kantian dan neo-Kantian, banyak menggunakan dualisme ini untuk menjelaskan konsep-konsep kunci dalam agama. John Hick, misalnya, menggunakan dualisme ini untuk menjelaskan the Real (realitas tertinggi). Hick menggunakan dualisme Kant tentang the Real in-it-self (das ding an sich) dan the Real as humanly thought-and-experienced. The Real in it self sesungguhnya adalah realitas tunggal yang dituju oleh kita (semua agama). Sementara, karena realitas tunggal itu bersifat maha baik maha besar, maha luas, maha agung, maha tak terbatas dan sebagainya, maka manusia (yang terbatas) mengalami keterbatasan untuk mengenalnya secara penuh. Itulah yang kemudian menurut Hick mewujud pada gambaran the Real as humanly thought-and-experienced (realitas tunggal yang dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi). Keterbatasan manusia dan cultural factors--lah yang kemudian menyebabkan respon orang tentang gambaran realitas tunggal itu menjadi berbeda-beda.

Selanjutnya, mungkin muncul pertanyaan bagaimana menghubungkan kedua the Real tersebut? Atau bagaimana the Real as humanly thought-and-experienced yang mungkin berbeda-beda antara satu agama dengan agama yang lainnya bisa diartikan menuju ke the Real in-it-self yang sama? Menurut Hick, semua agama dengan the Real yang berbeda-beda itu tetap menuju pada the Real in it self yang sama sejauh mampu melahirkan fungsi soteriologis dari agama. Artinya, agama yang sebenarnya berorientasi pada kehidupan diseberang sana tersebut mesti memberikan pengaruh yang baik secara moral dan ethics bagi para penganutnya dalam kehidupan sosial manusia.

KWA & ISLAM: Prinsip Pokok & Contoh

KWA diperlukan karena krisis pemikiran Islam yang melanda sekarang, -disamping berkaitan dengan etos kerja-, juga antara lain disebabkan oleh dominasi perspektif tradisional-konservatif yang meliputi hampir seluruh bidang dalam pemikiran Islam. Pandangan dunia Islam (world view) memang telah mulai terbentuk selama 4 abad pertama perkembangan Islam dan memperoleh bentuknya yang pasti pada abad ke- 12 Masehi. Juga, tradisi keilmuan Islam telah melahirkan sejumlah ilmu seperti ulum al-qur’an, ulum al-hadis, tafsir, fiqh, teologi dan sebagainya yang pada gilirannya membentuk struktur tradisi masyarakat Islam. Namun seteleh itu, keilmuan Islam itu sejak abad 12 tidak lagi mengalami perkembangan yang berarti. Sejumlah ilmu tersebut belakangan menjadi penyangga utama ortodoksi, dimana ilmu sudah dibatasi sedemikian rupa sehingga orang tidak boleh keluar dari rambu-rambu yang sudah disusun para ulama klasik. Pendeknya, proses ortodoksi telah menjadikan Islam sebagai wacana resmi dan tertutup.

Padahal tidak ada satu agamapun yang lahir dalam ruang kosong. Sebaliknya, ia selalu lahir dalam konteks yang menyejarah yang membuat eksistensinya memiliki makna. Hal ini membuktikan bahwa agama juga berdialog dengan zamannya, dan karena dialog inilah agama dapat menemukan signifikansinya di tengah masyarakat. Dengan berdialog itu, agama dipercaya dapat mengubah realitas diluar dirinya dan pada saat yang sama realitas luar itu juga berpengaruh pada agama. Selain itu, meskipun mengemukakan nilai-nilai kemanusiaan universal, agama juga dapat dengan mudah dijadikan alat yang efektif untuk tujuan-tujuan kekuasaan, baik pribadi ataupun golongan. Karena itu menjadikan agama sebagai wacana resmi dan tertutup, sejatinya, sangat berbahaya bagi agama itu sendiri dan keberagamaan kita.

Oleh karena itu, saya setuju dengan pendapat Kuntowijoyo (2007) agar umat Islam sekarang melakukan proses demistifikasi, yakni suatu gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks-teks agama dengan konteksnya. Ini diperlukan karena umat Islam sekarang dalam memahami teks-teks agama cenderung berhenti hanya pada proses mistifikasi. Artinya, pemahaman teks-teks agama hanya pada teks tanpa mengkaitkan dengan konteksnya. Akibatnya, teks-teks agama kehilangan kontak dengan kenyataan, dengan realitas, dengan aktualisasi dan dengan dunia kehidupan. Dalam tradisi akademik, proses demistifikasi bisa diwujudkan dengan cara meletakkan Islam sebagai obyek studi ilmiah. Jadi Islam tidak didekati sebagai agama wahyu semata, sehingga segala sesuatu harus dikembalikan dan tunduk kepada teks-teks suci yang telah diwahyukan, melainkan juga harus diwacanakan secara kritis, toleran dan membebaskan.

Proses demistifikasi yang dimaksudkan Kuntowijoyo, salah satunya, bisa melalui KWA. Beberapa hal pokok yang harus dilakukan dalam KWA antara lain (1) Kritik sejarah, yakni analisis kritis terhadap teks-teks agama dengan menyertakan konteks sebagai factor penting dalam menafsirkan dan memahami teks. (2) Dekonstruksi, yakni analisis kritis terhadap agama sebagai dogma dan wacana. Agama yang selama ini dipahami sebagai dogma dalam praktiknya tidak lagi berdaya tangkap terhadap berbagai tuntutan perubahan masyarakat, bahkan terkadang menjadi sumber penindasan, baik secara eksplisit maupun implisit. (3) Kritik ideologis, yakni analisis kritis terhadap relasi antara pengetahuan (kebenaran) dan kekuasaan (relasi kuasa) dalam pembentukan wacana keagamaan yang dominant. Setiap wacana dan penafsiran terhadap agama yang muncul selalu memiliki relasi dengan kekuasan dan kepentingan dimana penafsir atau penjaga tafsir itu hidup. Karena itu kebenaran suatu tafsir agama dapat juga dilihat dalam kuasanya. Dengan demikian, harus ada desakraslisasi atas tafsir agama.

Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid mungkin bisa menjadi contoh menarik operasionalisasi KWA. Munculnya arus KWA diIndonesia memang dipengaruhi, salah satunya, oleh Nasr Hamid. Karyanya Naqd al-Khitob al-Din yang kemudian diterjemahkan LKIS Yogyakarta dengan judul Kritik Wacana Agama hamper selalu menjadi rujukan dalam setiap diskusi tentang KWA. Dalam buku ini, Nasr Hamid mengemukakan beberapa kritik tajam atas mekanisme pembentukan wacana agama yang sekarang menjadi arus utama dalam Islam. Kritik itu ditujukan pada:

a. Penyatuan antara pemikiran tentang agama dan agama itu sendiri (al-tawhid bayn al-fikr wa al-din). Implikasinya bukan saja mengabaikan jarak epistemologis antara subyek dan obyek, lebih dari itu secara implicit mengklaim mampu mengatasi segala kondisi dan hambatan eksistensial dan epistemologis. Klaim kebenaran mutlak antara lain dibentuk dari mekanisme wacana agama seperti ini. Tafsir atas agama berada setara dengan agama itu sendiri. Akibatnya, kritik atas tafsir agama sering dipandang sebagai kritik terhadap agama itu sendiri. Padahal, dengan menggunakan perspektif Kantian, agama sebagai noumena dan pemikiran atas agama sebagai fenomena, adalah dua hal yang sama sekali berbeda.

b. Menginterpretasikan seluruh fenomena, baik social maupun alam, dengan cara mengembalikan seluruhnya para prinsip sebab utama (radd al-dhawahir ila mubtada wahid). Mekanisme wacana ini mengandalkan emosi keberagamaan awam, sehingga sulit untuk didiskusikan karena apapun yang ada selalu dikembalikan kepada Yang Mutlak. Tindakan demikian sebenarnya telah menafikan manusia dan menegasikan hokum-hukum alam dan social, serta merampas pengetahuan apapun yang tidak didasarkan pada wacana resmi agama.

c. Mengandalkan otoritas salaf atau turats (tradisi) (al-I’timad ‘ala al-sulthati al-turats wa al-salaf). Hal ini dilakukan dengan menggeser teks-teks turats, yang semestinya merupakan teks sekunder, menjadi teks utama (primer) yang diikat dengan sakralitas dan otoritas kekuasaan. Implikasinya, wacana agama demikian menyamakan antara ijtihad dengan agama itu sendiri. Lebih dari itu, mekanisme wacana ini juga telah memegang bentuk-bentuk formal agama, dan pada saat yang sama mengabaikan prinsip-prinsip dasar agama (maqasid al-syari’ah).

d. Keyakinan mental dan kepastian intelektual secara final (al-yaqinu al-dzuhni wa al-hismi al-fikr). Implikasi keyakinan ini adalah menolak perbedaan pemikiran apapun kecuali dalam bidang-bidang apapun yang dianggap sebagai cabang (furu’), bukan masalah akar dan dasarnya (al-ashl). Al-ashal dipandang sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah dan tunggal. Perubahan dan diversifikasi atas al-ashl dipandang sebagai upaya untuk menggerogori keyakinan agama.

e. Mengabaikan dimensi dan konteks sejarah (ihdar al-bu’di al-tarikhi). Hal ini terlihat jelas pada romantisme masa lalu yang berlebihan, yang mereka pandang sebagai masa keemasan Islam (al-‘ashr al-dzahabi). Mekanisme ini selain mengabaikan konteks ruang dan waktu (geografis dan kesejarahan) yang berbeda-beda, juga berimplikasi pada pensakralan atas hal-hal yang profan dan temporal.

Hal-hal di atas kemudian dijadikan titik tolak Nasr Hamid dalam merumuskan pembicaraan lebih lanjut tentang KWA. Implikasinya adalah keharusan untuk menelusuri dan membongkar kembali seperangkat aturan atau sistim nilai yang ada dalam agama dan meletakannya pada aras sejarah pembentukannya dan keterbentukannya. Hal ini penting karena sistim nilai tersebut bersentuhan dan dikonstruksi oleh sistim nilai lain yang ada diluarnya. Dengan kata lain, mengembalikan sistim nilai yang selama ini diklaim sebagai agama atau apa-apa yang lahir sebagai hasil dari tafsir terhadap agama (pemikiran keagamaan) kepada dimensi historisnya (kesejarahan dan geografis) menjadi keniscayaan. Berkaitan dengan tafsir agama, setiap kelompok keagamaan membangun artikulasi wacana keagamaannya secara ideologis. Masing-masing saling berkompetisi untuk memperebutkan otoritas kebenaran agama. Antara satu dengan yang lain saling berkompetisi,mencoba untuk menghegemoni wacana ideologisnya melalui kekuasaan politik (control negara) dan sistim budaya yang diklaimnya sebagai sistim universal. Melalui proses ini (KWA), tafsir kebenaran agama itu diproduksi dan direproduksi secara terus-menerus, ditulis dan dibaca secara berulang-ulang, dikritik dan direvisi untuk perbaikan, serta diekspresikan dalam ruang social yang terus berubah, baik oleh individu maupun kolektif. Dan itulah cara merealisasikan Islam rahmatan lil-alamin yang juga shahih li kulli zaman wa makan.

PARADIGMA KRITIS TRANFORMATIF PMII

Apakah Paradigma itu?Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma.Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda.Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma.1.   Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.2.  Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum.3.  Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll.Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial.Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan. Apakah yang disebut Teori kritis ?Apa sebenarnya makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam.Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas.Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961.Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian).Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”.Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia).Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori  kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift  tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :§   Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi;§   Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi;§   Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo;§   Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi;§   Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan. Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :    1.    Berpikir dalam totalitas (dialektis);    2.    Berpikir empiris-historis;    3.    Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis;    4.    Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat.Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.    1.    Kritik dalam pengertian Kantian.Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of possibility” bagi pengetahuan.Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’.Kritik ini bersifat transendental.Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.    2.    Kritik dalam pengertian Hegelian.Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir.  Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.     3.    Kritik dalam pengertian Marxian.Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik.Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran.Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat.Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat).Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat.Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.    4.    Kritik dalam pengertian Freudian.Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan  analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya.Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran.Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat :Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praksis.Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.  Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial:William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma :    1.    Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya.Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat.Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional.Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan :setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.Untuk memahami pola pemikiran paradigma keteraturan dapat dilihat skema berikut:

Elemen paradigmatik
  

Asumsi dasar
  

Type ideal

Imajinasi sifat dasar manusia
  

Rasional, memiliki kepentingan pribadi, ketidakseimbangan personal dan berpotensi memunculkan dis integrasi sosial
  

Pandangan hobes mengenai konsep dasar Negara

Imajinasi tentang masyarakat
  

Consensus, kohesif/fungsional struktural, ketidakseimbangan sosial, ahistoris, konservatif, pro-status quo, anti perubahan
  

Negara Republic Plato

Imajinasi ilmu pengetahuan
  

Sistematic, positivistic, kuantitatif dan prediktif.
  

Fungsionalisme Auguste Comte, fungsionalisme Durkheim, fungsionalisme struktural Talcot Parson

    2.    Conflic Paradigm (Paradigma Konflik) Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa :-    Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan-    Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner-    Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle)tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan.Konflik menjadi instrument perubahan. Untuk memahami pola pemikiran paradigma konflik dapat dilihat skema berikut:

Elemen paradigmatik
  

Asumsi dasar
  

Type ideal

Imajinasi sifat dasar manusia
  

Rasional,kooperatif, sempurna
  

Konsep homo feber hegel

Imajinasi tentang masyarakat
  

Integrasi sosial terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan, utopia
  

Negara Republic plato

Imajinasi ilmu pengetahuan
  

Filsafat materialisme, histories, holistic, dan terapan
  

Materialisme historis marx

    3.    Plural Paradigm (Paradigma plural)Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.  Untuk memahami pola pemikiran paradigma plural dapat dilihat skema berikut:

Elemen paradigmatik
  

Asumsi dasar
  

Type ideal

Imajinasi sifat dasar manusia
  

Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif
  

Konsep kesadarn diri imanuel kant

Imajinasi tentang masyarakat
  

Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme control.
  

Konsep kontrak sosial J.J Rousseau

Imajinasi ilmu pengetahuan
  

Filsafat idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi
  

Metode verstehen Weber

 ²      Terbentuknya Paradigma Kritis Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru.Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait denganasumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.. Apabila  disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada: a.  Analisis struktural : membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.b.Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.c.   Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat.Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.d.Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.e.  Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, actor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.    ²      Kritis dan TransformatifNamun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif” melengkapi teori kritis. Dalamperspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lainmakna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:1.  Transformasi dari Elitisme ke PopulismeDalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri.Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.2.  Transformasi dari Negara ke MasyarakatModel tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel.Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya.Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa.Hal ini dibantah Marx.Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara. 3.  Transformasi dari Struktur ke Kultur.Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan. 4.  Transformasi dari Individu ke MassaModel transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam). Paradigma Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII?Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan.Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan.  Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya.PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik.Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam.Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. Contoh yang paling kongkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari beberapa intelektual islam, diantaranya Hassan Hanafi dan Arkoun.  MENGAPA PMII MEMILIH PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF ?“Berpikir Kritis & Bertindak Tansformatif” itulah Jargon PMII dalam setiap membaca tafsir sosial yang sedang terjadi dalam konteks apapun. Dan ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut adalah:1.        Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola berpikir positivistik modernisme.2.        Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya pluralitas society).3.        Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo)4.        Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan.Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisis PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif. DATA-DATA BACAAN PENUNJANG1.  Andi Arief, Politik Hegemoni Gramsci, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 19992.  Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat, Liberty, Yogykrta, 19923.  Andree Feilrad, NU vis a vis Negara, LkiS, Jogjakarta, 19924.  Bendix, Reinhard, Max Weber, Berkeley University of California Press, 19975.  Franscis Arif Budiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Kanisius, Jogjakarta, 19926.  Frans Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Jogjakarta, 19927.  F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, Jogjakarta, 19908.  Greg Barton (Ed), Radikalisme Tradisional, LKiS, Jogjakarta, 19989.  Kazuo Simogaki, Kiri Islam ; Antara Modernisme dan Post-Modernisme(Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi), LkiS, Jogjakarta, 199310.     Moh. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, Inis,

1 komentar:

Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS